REFORMASI HUKUM PENCATATAN NIKAH MENUJU HUKUM YANG MELAYANI

REFORMASI HUKUM PENCATATAN NIKAH
 MENUJU HUKUM YANG MELAYANI
Edy Sismarwoto

A.    Latar Belakang

Di Indonesia, terdapat dualisme status hukum perkawinan masyarakat Islam, yaitu nikah yang sah menurut negara (tercatat) dan nikah sirri (yang tidak tercatat). Berdasarkan penelitian pada beberapa tempat di Indonesia, nikah sirri masih menduduki tempat yang cukup diminati oleh sebagian anggota masyarakat, terutama di daerah pedesaan, disamping nikah yang dilakukan secara tercatat. Keduanya merupakan nikah yang sah secara agama, karena memenuhi syarat dan rukun dalam hukum perkawinan Islam. Keduanya menjadi berbeda karena UUP No.1 Tahun 1974 pada Pasal 2 Ayat (2) menetapkan bahwa setiap perkawinan harus dicatat sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pencatatan perkawinan dalam UU Nomor 1 Tahun 1974, diatur dalam  Pasal 2 Ayat (2) yang berbunyi :”Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku” . Pada Penjelasan umum angka 4 huruf b, dinyatakan bahwa :” Tiap-tiap perkawinan harus dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku”,..”Pencatatan tiap-tiap perkawinan adalah sama halnya dengan pencatatan peristiwa–peristiwa penting  dalam  kehidupan seseorang, misalnya kelahiran, kematian, yang dinyatakan dalam surat-surat keterangan, suatu akta resmi yang juga dimuat dalam daftar pencatatan”.
Pasal 2 Ayat (2) disusun secara generik dengan Pasal 2 Ayat (1), yang berbunyi : ”Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu” danTiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku”.  Pasal  ini telah menjadi polemik di kalangan ahli hukum, yaitu sebagian berpendapat bahwa kedua pasal itu adalah berkait satu sama lain atau tidak bisa dipisahkan, sebagian yang lain berpendapat bahwa pasal tersebut terpisah atau merupakan dua perintah yang berbeda. Pendapat pertama menyatakan bahwa perkawinan tidak sah secara hukum tanpa adanya pencatatan nikah, sedangkan pendapat kedua menganggap bahwa sah perkawinan tidak ada hubungannya dengan pencatatan nikah.  
Perbedaan pendapat tersebut sangat berpengaruh dalam praktek hukum, terutama setelah MA pada tahun 1991 dan tahun 1993 membuat putusan dengan penafsiran yang berbeda pada kasus yang serupa, yaitu mengenai perkawinan tanpa pencatatan nikah terhadap kasasi atas keputusan Pengadilan Tinggi Bandung dan kasasi atas putusan Pengadilan Tinggi Banda Aceh[1].
Pada kasus yang pertama, Pengadilan Tinggi Bandung berpendapat bahwa sahnya perkawinan dihadapan hukum adalah berkaitan dengan dilakukannya pencatatan nikah, sehingga PT Bandung membatalkan putusan Pengadilan Negeri Bale Bandung dan  berpendapat bahwa perkawinan yang dilakukan secara  Islam  tanpa pencatatan  nikah  adalah tidak sah dihadapan hukum.  Mahkamah Agung membatalkan keputusan PT Bandung tersebut dan menyetujui petimbangan hukum dari hakim PN Bale Bandung.
Menurut PN Bale Bandung, perkawinan poligami liar yang dilakukan Supran Adiwiguna dengan Heni Zubaedah menurut hukum Islam adalah sah meskipun tanpa pencatatan Nikah dan  tanpa persetujuan isteri pertama,  Mulyaningsih.  Sahnya perkawinan tersebut telah menjadikan Supran Adiwiguna memenuhi unsur delik pada Pasal 279 KUHP dan meyakinkan, dan dijatuhi pidana penjara selama 5 tahun[2].
Kasus kedua, MA membatalkan putusan Pengadilan Tinggi Banda Aceh yang  memberikan  pertimbangan bahwa hubungan perkawinan  poligami tanpa pencatatan nikah dianggap ada/sah dan merupakan kejahatan perkawinan karena adanya penghalang melakukan perkawinan yaitu perkawinan pertama, tanpa ijin PA.  Menurut MA[3], Pelaksana perkawinan yang dalam  UU Nomor 1 Tahun 1974 adalah badan yang ditunjuk resmi oleh negara maupun pemerintah, apabila perkawinan tidak melalui badan yang diminta oleh negara maupun pemerintah, maka tidaklah bisa disebut sebagai suatu perkawinan, karena tidak melalui syarat-syarat sahnya suatu perkawinan.
Dengan demikian, dalam hal Pencatatan Nikah MA telah mengeluarkan dua pendapat, yaitu :
1.      Menurut MA, suatu Akad Nikah agama Islam tanpa diawasi oleh PPN adalah tetap sah, asalkan nikah tersebut memenuhi aturan syariat Islam.  
2.      Menurut MA[4], apabila perkawinan tidak melalui badan yang diminta oleh negara maupun pemerintah, maka tidaklah bisa disebut sebagai suatu perkawinan, karena tidak melalui syarat-syarat sahnya suatu perkawinan.

Akibat regulasi di atas, berimplikasi secara administratif, yaitu terhadap legalitas keabsahan perkawinan yang dilakukan menurut hukum Perkawinan Islam. Dalam sudut pandang Hukum Administrasi Negara, implikasi regulasi tersebut bisa dipandang sebagai masalah yang dapat diselesaikan secara administratif, dengan memenuhi persyaratan administratif. Akan tetapi implikasinya sebagai hukum materiel Peradilan Agama menimbulkan masalah yang berkepanjangan, karena sahnya perkawinan tidak diakui secara hukum, sehingga berpengaruh terhadap status perkawinan, status ahli waris dan dalam hubungan hukum lainnya yang berkaitan dengan perkawinan,  bagaimana penyelesaian secara administratif bisa menjadi solusi dari persoalan  ini.
Persoalan ini telah memasuki persoalan teoritis, dimana pada satu sisi Pencatatan Nikah merupakan kebutuhan demi ketertiban hukum dalam masyarakat, sedangkan pada sisi lain  eksistensi keabsahan perkawinan Agama (sesuai dengan istilah yang tercantum dalam Pasal 2 Ayat 1 UUP) menuntut untuk diakui, baik tercatat maupun tidak tercatat. Secara politis dibutuhkan teori untuk menempatkan perkawinan pada posisi hukum yang tepat sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Dalam hal ini terdapat hubungan antara produk pencatatan nikah dengan kekuatan hukum yang berupa perlindungan hukum dan pembuktiannya. Undang-undang menyatakan bahwa hanya Akta produk pencatatan Nikah saja yang mempunyai kekuatan hukum. Padahal dalam Negara hukum, seperti di Indonesia setiap warga Negara berhak atas perlindungan hukum, baik itu di bidang hukum privat maupun hukum public seperti Hukum Administrasi Negara. Termasuk di dalamnya adalah orang yang menikah atau melakukan perkawinan harus mendapatkan perlindungan hukum.
Persoalan ini menuntut penyelesaian inti, yaitu : bagaimana setiap warga mendapatkan perlindungan hukum apabila telah melakukan suatu pernikahan yang sah secara agama, Vita comply terhadap keberadaan pencatatan nikah jelas bukan merupakan jalan yang tepat untuk menyelesaikan persoalan, sebab secara teoritis pencatatan nikah diperlukan untuk tujuan ketertiban dan keadilan dalam masyarakat.  Keberadaan pencatatan nikah adalah suatu keharusan bagi positivisasi hukum perkawinan Islam, pencatatan nikah merupakan pintu masuk bagi berlakunya Hukum Perkawinan Islam sebagai hukum materiel pada perkara perkawinan di Pengadilan Agama.
Hukum itu merupakan suatu kebutuhan yang melekat pada kehidupan sosial itu sendiri, yaitu sebagai sarana untuk melayani hubungan di antara sesama anggota masyarakat sehingga terdapat kepastian di dalam lalu-lintas hubungan itu. Dengan demikian mudah di-mengerti,   bahwa  perubahan-perubahan   yang  terjadi   di   dalam masyarakat pada gilirannya akan menyebabkan pula terjadinya perubahan  pada  hukum  yang harus melayani masyarakat itu[5]. Dengan demikian pula,  tuntutan mengenai perubahan hukum secara teoritik berintisari pada bagaimana perubahan pelayanan hukum terhadap masyarakatnya, bukan semata-mata pada substansi hukumnya.
Dari latar belakang yang sudah dikemukakan di atas, dapat ditarik permasalahan sebagai berikut :
a.       Mengapa perlu perubahan Hukum Pencatatan Nikah ? 
b.      Bagaimana lembaga Pencataan Nikah yang dapat melayani masyarakat Islam di Indonesia, sehingga status hukum perkawinan “agama” tidak lagi menjadi persoalan dalam masyarakat Islam?

B.     Pembahasan

1.      Reformasi  Hukum  Pencatatan Nikah  

Secara singkat dapat di lihat bahwa pembahasan persoalan di atas tidak lagi berfokus pada Hukum Perkawinan Islam, melainkan pada Hukum Pencatatan Nikah yang masuk wilayah bidang Administrasi Negara, yang berimplikasi pada Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, dengan focus studi yang lebih khusus adalah bidang pelayanan Administrasi Negara. Pembahasan mengenai reformasi hukum berkaitan dengan tidak tercapainya tujuan hukum yang bersangkutan, yaitu keadaan masyarakat atas praktek hukum tersebut. 
Tujuan adanya hukum pencatatan nikah adalah untuk menciptakan ketertiban dalam perkawinan masyarakat. Tapi ternyata perundang-undangan Pencatatan nikah di Indonesia telah menjadi kontra produktif, status perkawinan :  sirri atau bukan sirri di Indonesia, dalam prakteknya telah ditentukan oleh pelayanan Administrasi Negara yang berakibat justru menciptakan ketidak ketertiban perkawinan di Indonesia. Kebijakan mengenai pelayanan hukum pencatatan Nikah di Indonesia dapat berimplikasi terhadap status perkawinan dalam hubungannya dengan kehidupan berbangsa dan bernegara. Persoalan pokok yang dihadapi bangsa ini, adalah bagaimana ketertiban perkawinan dapat diciptakan melalui perundang-undangan.
Beberapa hal yang perlu dikemukakan adalah mengenai alasan tidak dilakukannya pencatatan Nikah oleh sebagian kalangan umat Islam yang melakukan Perkawinan. Dalam penelitian yang dilakukan di Jakarta, menurut Idris Ramulyo,1996.[6], beberapa kalangan masyarakat berusaha menghindari diri dari sistem dan cara pengaturan perkawinan menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, yang birokratis dan berbelit-belit serta lama pengurusannya. Untuk itu mereka menempuh cara sendiri yang tidak bertentangan dengan Hukum Islam. Pada tahun 2004 diungkapkan oleh Majalah Gatra[7] bahwa berdasarkan data KUA Situbondo, Jawa Timur, diperkirakan ada 3000 kasus kawin sirri di daerahnya dan di seluruh Jawa Timur ada 30.000 kasus. Kasus serupa juga merebak di sentra industri seperti di Cikarang, Bekasi, Jawa Barat dan sebagainya.  Sebagai contoh adalah kasus di sekitar lokasi pembangunan PLTU Paiton yang dimulai 1986 sampai 1996, begitu proyek Paiton selesai meninggalkan banyak janda, dalam satu desa ada sekitar 70 perempuan yang didata dikawin sirri terutama di desa-desa di  Kecamatan Paiton, Probolinggo dan Kecamatan  Banyuglugur, dan Situbondo.[8] Alasan utama mereka adalah perkawinan mereka merupakan perkawinan kedua yang disembunyikan dari isteri pertama. Kemudian berdasarkan penelitian di Kecamatan Grabag, kabupaten Magelang[9], beberapa warga melakukan perkawinan tanpa pencatatan nikah, adalah karena biaya yang dikeluarkan untuk pengurusan perkawinan mereka dianggap mahal, lebih mahal dari pada biaya untuk melakukan walimah nikah.  Dalam prakteknya, adanya hukum pencatatan nikah telah menciptakan dua status perkawinan yang pada dasarnya mencerminkan ketidak tertiban perkawinan dalam masyarakat. Pada sisi lain perkembangan pendidikan masyarakat mengenai perkawinan menimbulkan perubahan kesadaran mengenai keadilan dalam praktek hukum perkawinan. Dimana perlindungan  hukum tidak hanya merupakan hak dari orang yang mempunyai Akta Nikah, melainkan hak dari semua warga negara yang menikah. Dengan demikian Hukum Pencatatan Nikah dituntut untuk melakukan pelayanan yang menjangkau semua perkawinan masyarakat.
Perubahan-perubahan yang terjadi di dalam masyarakat pada gilirannya akan menyebabkan pula terjadinya perubahan pada hukum yang harus melayani masyarakat itu[10]. Hukum Pencatatan nikah adalah hukum yang melayani masyarakat dengan produk yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat, yaitu Akta Nikah yang pada gilirannya akan menciptakan ketertiban perkawinan.  Sampai pada saat ini jutaan orang yang sudah menikah telah mendapatkan akta nikah, tapi disisi lain jutaan orang lainnya menikah, tidak mendapatkan akta nikah. Keadaan tersebut secara signifikan terus berlangsung dari tahun ke tahun, dan hampir tidak ada kemajuan yang berarti, dimana seharusnya terjadi pengurangan terhadap prosentase kawin sirri  di Indonesia. 
Sebagai lembaga pelayanan, pencatatan nikah harus mengikuti hukum Pelayanan publik yang ada di Indonesia, yng berpayung pada UU No 25 tahun 2009 tentang pelayanan publik. Pada prinsipnya upaya untuk mencapai kebutuhan pelayanan Nikah yang baik, adalah upaya menghindari adanya nikah sirri dengan secara aktif. Pencatatan Nikah harus berubah menjadi pelayanan yang aktif, oleh karena itu perlu dilakukan reformasi hukum pencatatan nikah, melalui Undang-undang, supaya memerintahkan kepada Negara sebagai birokrasi pelayanan, untuk membentuk lembaga Pencatatan NIkah yang benar-benar melayani masyarakat dalam hal penyuluhan dan pencatatan nikah, sehingga tak satupun orang Indonesia yang menikah tanpa pencatatan nikah. Setiap pernikahan yang tidak dicatatkan justru menjadi tanggung jawab yang dibebankan pada Pegawai Pencatat Nikah, bukan kepada orang yang menikah, kecuali bagi mereka melakukan pelanggaran dalam perkawinan.
Reformasi hukum Pencatan Nikah adalah reformasi di bidang karakter kelembagaan, yang tadinya bersifat sebagai lembaga statis menjadi lembaga yang dinamis. Perubahan karakter ini menuntut adanya rekonsruksi birokrasi yang harus lebih dahulu diteliti secara akademis untuk mereformasi hukumnya. Lembaga pencatatan nikah harus mempunyai tujuan baru secara hukum, yaitu tidak ada masyarakat Indonesia yang menikah tanpa melalui Pencatatan Nikah, kecuali mereka melakukan pelanggaran perkawinan.   

2.     Karakteristik Pencatatan Nikah

Lembaga Pencatatan Nikah adalah lembaga Negara yang berkewajiban untuk mencatatatkan nikah masyarakat yang beragama Islam.  Karakter ini adalah merupakan perubahan dari sifat “berwenang” yang cenderung menunggu atau statis tanpa ada upaya untuk berperan aktif dalam masyarakat. Konsep ini berdasarkan pada konsep tanggung jawab Negara terhadap warga masyarakat untuk memberikan perlindungan hukum bagi siapapun warga Negara Indonesia, sehingga Negara secara hukum  wajib untuk memberikan pelayanan pencataan nikah demi terlaksananya perlindungan terhadap warga Negara di bidang perkawinan.

a.      Asas : Negara Wajib memberikan perlindungan hukum

Lembaga pencatatan nikah yang ada sekarang secara hukum berperan sebagai lembaga yang melayani kebutuhan masyarakat, sehingga dilakukan pencatatan atau tidak tergantung pada kebutuhan masyarakatnya. Konsep ini tidak berdasarkan pada konsep perlindungan hukum yang menjadi hak semua warga Negara, karena perlindungan hukum masih dipandang sebagai kepentingan warga Negara bukan sebagai kewajiban Negara yang telah ditentukan oleh konstitusi. Dengan dipandang sekedar sebagai kepentingan warga Negara, maka hukum tidak memerintahkan kepada Pegawai Pencatat Nikah untuk melakukan pencatatan, melainkan hanya memberikan kewenangan untuk mencatatkan apabila mereka menghendaki. Pasal 2(2) UU no.1 Tahun 1974  menyatakan bahwa : “setiap perkawinan harus dicatatkan…” , yang seharusnya apabila berlandaskan pada asas Negara melindungi setiap warga negaranya, berbunyi : “Negara wajib mencatat semua perkawinan…..”. Hal inilah yang sebenarnya perlu direformasi, sehingga peraturan di bawahnya berbasis pada asas tersebut, sehingga UU justru memerintahkan kepada Negara untuk membangun suatu birokrasi pencatatan nikah yang bisa melayani warganya.

b.      Asas : Kesamaan di dalam hukum

Asas berimplikasi dengan kewajiban Lembaga Pencatat nikah, dibangun bukan hanya  untuk melakukan Pencatatan Nikah, melainkan juga memberikan penyuluhan kepada warga Negara untuk memahami hukum perkwinan dengan benar, sehingga setiap warga ketika melakukan perkawinan secara formal sudah bisa dianggap mengetahui hukum perkawinan yang ada. Akibatnya apabila terjadi perkawinan yang tidak dicatatkan, Negara tidak bisa disalahkan, bahkan bisa memberikan sanksi kepada warga yang tidak mau melakukan pencatatan nikah.   Hal ini berimplikasi pada bunyi perundang-undangan, bahwa : perkawinan ……dicatatkan menurut perkawinan yang berlaku, oleh karena itu Negara wajib memberikan penyuluhan mengenai peraturan pencatatan Nikah”, mempunyai arti adanya usaha Negara (lembaga Pencatat Nikah) untuk memberikan penyuluhan mengenai peraturan yang berlaku. Dengan demikian bsrokrasi yang didirikan adalah berupa Lembaga Penyuluhan dan Pencatat Nikah, bukan lembaga Pencatat Nikah.

3.       Membangun lembaga Penyuluhan dan Pencata Nikah yang memenuhi standar Pelayanan.


Hal- hal pokok dalam pelayanan public menurut UU No. 25 tahun 2009 tentang Pelayanan Publik, adalah sebagai berikut :
a.      Standar Pelayanan
Perubahan yang terjadi dibidang sosial-kultur dan politik berdampak pada pergeseran paradigma administrasi publik menuju pada suatu model yang lebih partisipatif dan berstruktur sosial, yang berujung pada pelayanan yang berkeadilan, transparan, ada kepastian dan terjangkau. Paradigma baru administrasi negara tersebut, menyebabkan pola hubungan antara negara dengan masyarakat, yang lebih menekankan kepada kepentingan masyarakat. Akibatnya negara dituntut untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat dengan lebih baik dan lebih demokratis, beberapa hal pokok berkaitan dengan pelayanan publik adalah sebagai berikut :
·         Undang Undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik, memerintahkan dalam penyelenggaraan pelayanan publik, penyelenggara berkewajiban menyusun dan menetapkan Standar Pelayanan dengan memperhatikan, kemampuan penyelenggara, kebutuhan masyarakat dan kondisi lingkungan (Bab V, pasal 20, ayat 1).
·         Ruang lingkup pelayanan publik menurut Undang-Undang Pelayanan Publik meliputi pelayanan barang publik dan jasa publik serta pelayanan administratif yang diatur dalam peraturan perundang-undangan. Dalam ruang lingkup tsb, termasuk pendidikan, pengajaran, pekerjaan dan usaha, tempat tinggal, komunikasi dan informasi,  lingkungan hidup, kesehatan, jaminan sosial,  energi, perbankan, perhubungan, sumber daya  alam, pariwisata, dan sektor strategis lainnya. (Pasal 5 UU No 25 Tahun 2009)
·         Dalam menyusun dan menetapkan Standar pelayanan, penyelenggara wajib mengikut sertakan fihak terkait (BabV, pasal 20, ayat, 2). Pengikut sertaan masyarakat dan fihak terkait dilakukan berdasarkan prinsip tidak diskriminatif, terkait langsung dengan jenis pelayanan, memiliki kompetensi dan mengutamakan musyawarah serta memperhatikan keberagaman (BabV, pasal 20, ayat, 2) dan dilakukan dengan pedoman tertentu yang diatur dalam peraturan daerah (BabV, pasal 20, ayat, 5). BabV, pasal 20, ayat, 2)
·         Dalam ketentuan perundangan tersebut diatas tersirat delegasi yang memerintahkan pembentukan peraturan pelaksanaan yang eksplisit, untuk menyusun pembuatan paraturan perundang-undangan lebih lanjut. Suatu perintah untuk menyusun Standar Pelayanan dengan kriteria yang diatur dalam undang-undang.
·         Tehnik perancangan peraturan perundang-undangan merupakan hal penting. Dalam Undang Undang Nomor 10 tahun 2004 ditegaskan bahwa pendelegasian kewenangan mengatur (dalam hal ini pembentukan paraturan pelaksanan), harus menyebut dengan tegas : (1) Ruang lingkup materi yang diatur, dan (2) Jenis peraturan perundang-undangan (Angka 166 Bab 11 Lampiran Undang Undang Nomor tahun 2004). Oleh karena itu dalam perancangan dan penetapan peraturan perundang-undangan yang berkait penyusunan Standar Pelayanan harus diperhatikan dengan baik ketentuan-ketentuan tersebut.
·         Penyelenggaraan pelayanan publik harus merealisir ”cita-cita dasar pelayanan publik” yang berasaskan Asas Kepentingan Umum, Asas Kepastian hukum, asas kesamaan hak, asas keseimbangan hak dan kewajiban, asas keprofesionalan, Asas Partisipatif; Asas persamaan kelakuan/tidak diskriminatif, Asas Keterbukaan, Asas Akuntabilitas; Asas fasilitas dan perlakuan khusus bagi kelompok rentan, Asas ketepatan waktu dan, asas kecepatan, kemudahan dan keterjangkauan (Bab II, pasal 4 Undang Undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2009 Tentang Pelayanan Publik).
·         Standart Pelayanan yang dirancang sekurang-kurangnya terdiri dari komponen-komponen berikut :
a.         Dasar hukum
b.         Persyaratan
c.         Sistem, mekanisme dan prosedur
d.        Jangka waktu penyelesaian
e.         Biaya/tariff
f.          Produk pelayanan
g.         Sarana, prasarana dan atau fasilitas
h.         Kompensasi pelaksana
i.           Pengawasan internal
j.           Penanganan pengaduan
k.         Jumlah pelaksana
l.           Jaminan pelayanan yang memberikan kepastian pelayanan dilaksanakan sesuai dengan standar pelayanan
m.       Jaminan keamanan dan keselamatan pelayanan dalam bentuk komitmen untuk memberikan rasa aman, bebas dari bahaya dan resiko keragu-raguan, dan
n.         Evaluasi kinerja pelaksanan (psl. 22, UURI No. 25 Th 2009 Tentang Pelayanan Publik.

1.      Maklumat pelayanan
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2009 Tentang Pelayanan Publik mengenai penetapan maklumat pelayanan mengatakan bahwa ”penyelenggara pelayanan publik wajib menyusun dan menetapkan maklumat pelayanan yang merupakan pernyataan kesangggupan penyelenggaran dalam melaksanakan pelayanan sesuai dengan sifat, jenis dan karakteristik pelayanan yang diselenggarakan dan dipublikasikan dengan jelas”(Bab V, pasal 22, UURI No.25 Tahun 2009 Tentang Pelayanan Publik). Maklumat Pelayanan yang mengikrarkan standar pelayanan, dinyatakan secara tertulis, merupakan tolok ukur yang dipergunakan sebagai pedoman penyelenggaraan pelayanan, dan merupakan kewajiban dan janji penyelenggara kepada masyarakat dalam rangka pelayanan berkualitas, cepat, mudah, terjangkau dan terukur.

2.      Ombudsman
pengawasan eksternal penyelenggaraan pelayanan publik dilakukan melalui:
a.       pengawasan oleh masyarakat berupa laporan atau pengaduan masyarakat dalam penyelenggaraan pelayanan publik;
b.      pengawasan oleh ombudsman sesuai dengan peraturan perundang-undangan; dan
c.        pengawasan oleh Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota. (Pasal 35 UU No 25 Tahun 2009)
Penyelenggara berkewajiban menyediakan sarana  pengaduan dan menugaskan pelaksana yang kompeten dalam pengelolaan pengaduan serta berkewajiban mengumumkan nama  dan alamat penanggung jawab pengelola pengaduan serta sarana pengaduan yang disediakan. Penyelenggara berkewajiban mengelola pengaduan  yang berasal dari penerima pelayanan, rekomendasi ombudsman, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi,  dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah  Kabupaten/Kota dalam batas waktu tertentu. Penyelenggara berkewajiban menindaklanjuti hasil pengelolaan pengaduan tsb. (Pasal 36 UU No 25 Tahun 2009)

3.      biaya / Tarif pelayanan
Untuk kebutuhan biaya/tarif pelayanan publik, pada dasarnya  merupakan tanggung jawab negara dan/atau masyarakat. Apabila dibebankan kepada masyarakat atau penerima pelayanan, maka penentuan biaya/tarif pelayanan publik tsb ditetapkan dengan persetujuan Dewan Perwakilan  Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi,  Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota  dan berdasarkan peraturan perundang-undangan. (Pasal 31 UU No 25 Tahun 2009)
4.      Pengawasan dan penyelenggaraan Pelayanan Publik
Di era reformasi dan keterbukaan saat ini, penyelenggaraan pelayanan publik tidak terlepas dari pengawasan atau kontrol, baik pengawasan internal maupun pengawasan eksternal. Sesuai Pasal 35 ayat (2) dan (3) UU Nomor 25 Tahun 2009, Pengawasan internal penyelenggaraan pelayanan publik dilakukan melalui: (a) pengawasan oleh atasan langsung sesuai dengan peraturan perundang-undangan; dan (b) pengawasan oleh pengawas fungsional sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Sedangkan pengawasan eksternal dilakukan melalui: (a) pengawasan oleh masyarakat berupa laporan atau pengaduan masyarakat dalam penyelenggaraan pelayanan publik, (b) pengawasan oleh ombudsman sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan (c) pengawasan oleh Dewan perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota. Dengan demikian banyak “mata” dan “telinga” yang mengawasi pelaksanaan pelayanan publik oleh penyelenggara layanan publik, termasuk aparat penegak hukum seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Saat ini harus kita akui kepercayaan publik pada kinerja aparat pengawasan internal semakin rendah. Di zaman Orde Baru dulu ada istilah Pengawasan Melakat (Waskat) dalam pengawasan internal, akan tetapi dalam praktek pelaksanaannya malah sering diplesetkan menjadi “Wajib Setor Pada Atasan”.
Regulasi penyelenggaraan pelayanan publik dalam standar pelayanan dimplementasikan sebagai pilar dasar penyelenggaraan pemerintahan yang berbasis kerakyatan, di beberapa daerah secara substansial telah terbangun pemahaman untuk mewujudkan pelayanan publik (public service) yang sesuai dongan koridor tata kelola pemerintahan yang baik (good governance). Pemahaman demikian secara tematik merupakan alasan fundamental dari kehendak publik untuk menyusun perangkat hukum dan regulasi dalam rangka membangun pelayan-pelayan publik (public service) yang mengedepankan prinsip-prinsip demokrasi, transparansi, akuntabilitas, responsibilitas. Suatu regulasi yang berseiring dengan paradigma baru playanan publik (the new public service paradigm), yaitu berubahnya birokrasi sebagai pangreh menjadi abdi alias pelayan masyarakat. 

5.      Pengelolaan dan penyelesaian pengaduan
Berpijak pada regulasi seperti tersebut diatas penetapan standar dan maklumat pelayanan idealnya harus responsif terhadap berbagai kepentingan dan nilai yang ada dan hidup terpelihara dalam kehidupan masyarakat. Tugas pemerintah adalah melakukan negosiasi dan mengelaborasi berbagai kepentingan di antara warga negara dan kelompok komunitas. Ini mengandung makna bahwa karakter dan nilai yang terkandung dalam standar pelayanan tersebut harus berisi preferensi nilai-nilai yang ada dalam masyarakat. Karena masyarakat bersifat dinamis, maka karakter pelayanan publik juga harus selalu berubah mengikuti perkembangan masyarakat. Logika inilah yang menuntut proses penyelenggaraan pelayanan publik untuk senantiasa dilaksanakan lebih responsif, inovatif dan progresif.
Masyarakat berhak mengadukan penyelenggaraan pelayanan publik, apabila;
a.       penyelenggara yang tidak melaksanakan  kewajiban dan/atau melanggar larangan; dan
b.      pelaksana yang memberi pelayanan yang tidak sesuai dengan standar pelayanan.
Pengaduan tsb ditujukan kepada penyelenggara, ombudsman, dan/atau Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Dewan  Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota. (Pasal 40 UU No 25 Tahun 2009)
Pengaduan seperti dimaksud diatas diajukan oleh setiap orang yang dirugikan atau oleh pihak lain yang menerima kuasa untuk mewakilinya. Pengaduan tsb dilakukan paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak pengadu menerima pelayanan. Dalam pengaduannya, pengadu dapat memasukkan tuntutan ganti rugi. Dalam keadaan tertentu, nama dan identitas pengadu dapat dirahasiakan.
Pengaduan yang disampaikan secara tertulis harus memuat:
a.       nama dan alamat lengkap;
b.      uraian pelayanan yang tidak sesuai dengan standar pelayanan dan uraian kerugian material atau immaterial yang diderita;
c.       permintaan penyelesaian yang diajukan; dan
d.      tempat, waktu penyampaian, dan tanda tangan. (Pasal 42 UU No 25 Tahun 2009)
Pengaduan tertulis tsb dapat disertai dengan bukti -bukti sebagai  pendukung pengaduannya.  Dalam hal pengadu membutuhkan dokumen  terkait dengan pengaduannya dari penyelenggara  dan/atau pelaksana untuk mendukung  pembuktiannya itu, penyelenggara dan/atau pelaksana wajib memberikannya. (Pasal 43 UU No 25 Tahun 2009)
Penyelenggara dan/atau ombudsman wajib menanggapi pengaduan tertulis oleh masyarakat paling lambat  14 (empat belas) hari sejak pengaduan diterima, yang sekurang-kurangnya berisi informasi lengkap atau tidak lengkapnya materi aduan tertulis tsb. Dalam hal materi aduan tidak lengkap, pengadu  melengkapi materi aduannya selambat- lambatnya  30 (tiga puluh) hari terhitung sejak menerima  tanggapan dari penyelenggara atau ombudsman   sebagaimana  diinformasikan oleh pihak penyelenggara dan/atau ombudsman.  Dalam hal berkas pengaduan tidak dilengkapi  dalam waktu tsb, maka pengadu dianggap mencabut pengaduannya. (Pasal 44 UU No 25 Tahun 2009)
6.      Sanksi serta masalah pelanggaran hukum dalam penyelenggaraan pelayanan public dan ketentuan sanksinya.
Dalam hal penyelenggara melakukan perbuatan  melawan hukum dalam penyelenggaraan pelayanan  publik sebagaimana diatur dalam undang-undang  pelayanan publik, masyarakat dapat mengajukan gugatan  terhadap penyelenggara ke pengadilan. Pengajuan gugatan terhadap penyelenggara, tidak  menghapus kewajiban penyelenggara untuk  melaksanakan keputusan ombudsman dan/ atau penyelenggara. Pengajuan gugatan perbuatan melawan hukum tsb, dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. (Pasal 52 UU No 25 Tahun 2009)
Dalam hal penyelenggara diduga melakukan tindak  pidana dalam penyelenggaraan pelayanan  publik  sebagaimana diatur dalam undang-undang ini,  masyarakat dapat melaporkan penyelenggara kepada pihak berwenang. (Pasal 53 UU No 25 Tahun 2009).
Sayangnya pelaksanaan pelayanan publik menurut UU No 25 Tahun 2009 masih memiliki beberapa kendala. Kendala tersebut disebabkan oleh belum dikeluarkan Peraturan pemerintah mengenai ruang lingkup, mengenai sistem pelayanan  terpadu, mengenai pedoman  penyusunan standar pelayanan, mengenai proporsi akses dan  kategori kelompok masyarakat, mengenai tata cara  pengikutsertaan masyarakat dalam penyelenggaraan pelayanan publik dan Peraturan presiden mengenai mekanisme dan  ketentuan pemberian ganti rugi.

C.   PENUTUP

Beberapa hal yang telah diuraikan di atas, membutuhkan reformasi di bidang hukum Pencatatan Nikah yang dilihat dari sejarah hukum sduah dimulai sejak tahun 1946, yaitu dengan dikeluarkannya UU no 22 tahun 1946, sehingga menjadi sangat relevan untuk mengumpulkan semua peraturan Pencatatan Nikah ke dalam UU tersendiri yang berbasis pada Asas : perlindungan Hukum dan asas kesamaan dalam Hukum.
Apabila dilakukan dengan pemikiran dan perencanaan yang matang, reformasi hukum Pencatatan Nikah bisa menjadi solusi peroalan status hukum perkawinan tanpa merubah Hukum Perkawinan yang sudah ada, sehingga tidak mengusik persoalan sah atau tidaknya perkawinan menurut agama yang sudah ditetapkan oleh perundang-undangan.


[1] Varia Peradilan Nomor 77, Pebruari 1992 dan Nomor 115, April 1995
[2] Putusan Pengadilan Negeri Bale Bandung Nomor 273/Pid/1687/PN.PB, tanggal 4 April 1988.
[3] Putusan MA Nomor 1948 /K/Pi/1991 tanggal 18 Desember 1993.
[4] Putusan MA Nomor 1948 /K/Pi/1991 tanggal 18 Desember 1993.
[5] Satjipto Rahardjo, Hukum  Dan   Masyarakat Penerbit Angkasa Bandung,1980,Hal 11.

[6] Idris Ramuljo, Moch, Hukum Perkawinan Islam, Suatu Analisis Undang-undang Nomor1 Tahun 1974 dan KomPilasi Hukum Islam,Penerbit Bumi Aksara, Jakarta 1996, Halaman 240. 
[7] Gatra, Redaksi 24 Mei 2004,2004
[8]  ibid
[9] Penelitian Dan Pengabdian Masyarakat Fakultas Hukum Undip Pada Tahun 2006.
[10] Satjipto, ibid hal 11